MKKS - Berdasarkan hasil UKG (Uji ompetensi Guru) pada tahun 2015, dapat disimpulkan bahwa kompetensi kognitif dan pedagogik guru dengan nilai minimal 55 tidak tercapai dengan baik.
Rata-rata hasil UKG guru pada tahun 2015 menunjukkan masih sedikit di bawah CKM (Capaian Ketuntasan Minimal) yang diharapkan. Sebagai tindaklanjut hasil Uji Kompetensi Guru tahun 2015 tersebut, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) mengalokasikan anggaran untuk pelatihan dan pendampingan guru dalam menyongsong Uji Kompetensi Guru pada tahun-tahun berikutnya.
Rata-rata hasil UKG guru pada tahun 2015 menunjukkan masih sedikit di bawah CKM (Capaian Ketuntasan Minimal) yang diharapkan. Sebagai tindaklanjut hasil Uji Kompetensi Guru tahun 2015 tersebut, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) mengalokasikan anggaran untuk pelatihan dan pendampingan guru dalam menyongsong Uji Kompetensi Guru pada tahun-tahun berikutnya.
Program yang dimaksudkan yaitu program Guru Pembelajar yang dilaksanakan melalui tiga cara. Yakni, moda Daring (dalam jaringan), moda DK (Daring Kombinasi), dan moda TM (Tatap Muka).
Penentuan 3 jenis pelatihan tersebut berdasarkan dari rapor guru hasil UKG dengan rincian moda daring (3 sampai dengan 5 kompetensi tidak tercapai), moda daring kombinasi (6 sampai dengan 7 kompetensi tidak tercapai), dan moda tatap muda (8 sampai dengan 10 kompetensi tidak tercapai).
Pelatihan berjenjang telah dilaksanakan, mulai dari narasumber nasional atau pengampu yang merupakan guru dengan nilai antara 80 sampai dengan 100 dengan minimal 1 kompetensi tidak tercapai (berwarna merah), dan penetapan mentor yang merupakan guru dengan nilai 70 sampai dengan 90 dengan minimal 2 kompetensi tidak tercapai (berwarna merah).
Penunjukan narasumber nasional dan mentor selain berdasarkan kriteria nilai juga berdasarkan kuota pada masing-masing wilayah. Sehingga tidak semua guru dengan kriteria nilai dan rapor merah tersebut secara otomatis menjadi narasumber atau mentor.
Dalam pelaksanaan pelatihan, program guru pembelajar akan dipandu oleh narasumber dan mentor yang telah terpilih dan mendapatkan pelatihan sebelumnya. Pengampu berkewajiban melakukan pelatihan dan pendampingan secara online pada moda daring secara langsung kepada peserta. Sedangkan untuk mentor bertanggungjawab dalam pelaksanaan moda daring kombinasi dan moda tatap muka.
Kurang Sosialiasi dan Koordinasi
Dalam penentuan pengampu dan mentor, banyak di kalangan guru yang mempertanyakan kenapa guru dengan nilai lebih tinggi tidak menjadi pengampu atau mentor, sedangkan guru lain dengan nilai yang lebih rendah, bisa mendapatkan kesempatan tersebut. Bisa jadi, guru yang mendapat nilai lebih tinggi namun kompetensi yang tidak tercapai (rapor merah) lebih banyak sehingga yang bersangkutan tidak terpilih menjadi pengampu atau mentor.
Munculnya pertanyaan ini disebabkan karena kurangnya sosialiasi dari pihak pelaksana kepada dinas pendidikan kabupaten/kota sehingga dinas kabupaten/kota dan guru-guru sebagai peserta UKG tidak mengetahui tentang perihal penetapan pengampu dan mentor berdasarkan rapor kelulusan kompetensi.
Dalam pemilihan pengampu dan mentor yang dipanggil dalam pelatihanpun tidak melibatkan dinas pendidikan. Sehingga, kurang adanya koordinasi antara pelaksana pelatihan. Dalam hal ini, pengampu dan mentor dengan dinas pendidikan yang merupakan instansi tempat bernaung dari pengampu dan mentor itu sendiri. Kondisi ini berakibat pada tindak lanjut di daerah kabupaten/ kota, yang imbasnya mengalami kebingungan.
Pemangkasan Peserta
Perjalanan program Guru Pembelajar, yang direncanakan sebelumnya oleh Mendikbud (periode 24 Oktober 2014 sampai 27 Juli 2016) Anies Rasyid Baswedan, Ph. D, tergolong tidak mulus. Apalagi, setelah reshuffle kabinet yang membuat Anies Baswedan digantikan oleh Mendikbud Prof. Dr. Muhadjir Effendy, pelaksanaan program ini makin mengalami ketidakjelasan.
Dalam rencana awal, pelatihan moda daring yang diikuti oleh seluruh peserta ternyata tidak terealisasi sepenuhnya. Begitu juga pada moda daring kombinasi. Hanya saja peserta-peserta tertentu yang telah tercatat oleh P4TK sebagai pelaksana program pembelajarlah yang dapat mengikuti pelatihan tersebut.
Pemangkasan peserta tersebut disinyalir karena kondisi keuangan negara yang masih dalam keadaan “sakit” (minim anggaran). Sehingga, hanya 25 persen dari peserta yang terdaftar sebelumnya yang dapat mengikuti kegiatan GP pada tahun 2016. Dalam pelaksanaan moda daring kombinasi, peserta mendapatkan transport pada sesi on atau tatap muka di pusat belajar.
Yang kemudian, dilanjutkan pada sesi online secara individu untuk melaporkan hasil setiap sesi kegiatan. Hal ini pastinya akan memakan banyak anggaran karena jumlah guru dalam moda daring kombinasi lebih banyak dari moda daring.
Sedangkan, untuk pelaksanaan moda tatap muka sendiri masih dilaksanakan pada sebagian kabupaten atau kota sebagai sampel realisasi program Guru Pembelajar. Ada wacana bahwa pada pelaksanaan pelatihan moda tatap muka, biaya dibebankan kepada peserta dengan menyisihkan dana dari sertifikasi guru. Hal ini memunculkan sejumlah pertanyaan.
Misalnya, bagaimana bila peserta moda tatap muka adalah guru honorer yang belum sertifikasi?
Kemungkinan besar hal tersebut akan memberatkan guru honorer. Dalam segi pendapatan sendiri, guru honorer masih belum mendapatkan kesejahteraan secara utuh. Apalagi, guru honorer pada sekolah negeri yang tidak berhak mendapatkan sertifikasi.
Dengan berbagai problematikanya, semoga saja program Guru Pembelajar diberi perhatian lebih oleh pemerintah. Paling tidak, eksekutif menjalankan langkah kongkret terkait kepastian tentang program tersebut.
Jika pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud), memang bertujuan melakukan perbaikan dalam kompetensi guru, hendaknya mereka sudah siap dengan segala resiko. Termasuk, dalam aspek pembiayaan dan ketegasan dalam pelaksanaan.
sumber : suroboyo.id